Musik adalah pertanda bahwa sorga bisa diciptakan di muka bumi, sekarang ini juga. Musik dapat membawa kita membubung ke dunia lain, ke sebuah "u-topia", mengatasi topos dunia saat ini yang centang perenang, dunia yang bopeng dan terpiuh. Musik membawa kita kembali ke taman Eden, seolah-olah kita tak pernah terlempar dari sana. Musik membawa kita kembali bersatu dengan dunia primordial. Musik membuat kita utuh kembali.
Apakah saya berlebihan? Boleh jadi. Tetapi itulah yang saya rasakan saat mendengar musik, dengan seluruh genre-nya. Dalam catatan pendek ini, saya ingin berbicara tentang genre-genre musik yang membuat saya membubung, kembali ke "tempat asal", jika kalimat yang agak berlebihan ini boleh dipakai.
Catatan ini tidak sistematis. Saya mulai saja dari Sarah Brightman, penyanyi soprano asal Inggris yang saya sukai. Secara umum, saya menyukai hampir seluruh album Sarah, tetapi ada dua album yang paling menarik minat saya, yaitu "Winter Symphony" (pas betul diputar saat salju turun menjelang Natal) dan "Harem" (yang mengombinasikan berbagai genre musik": Arab, Scott, dll). Album Sarah "Harem" langsung menarik perhatian saya, terus terang, karena ada unsur kasidah di sana, terutama lagu "Harem" yang kental dengan suasana Timur Tengah.
Salah satu lagu di album itu menampilkan suara Kazim al-Sahir, penyanyi kondang asal Irak yang terkenal karena mendendangkan syair-syair Nizar Kabbani itu. Saya memang cenderung tertarik dengan eksperimen musik yg lintas budaya seperti ini. Kerjasama Sting dg penyanyi Maroko, Cheb Mami, misalnya, juga menarik saya. Tampaknya "mind-set" saya yang selalu ingin "menyeberang" (tetapi juga kemudian "kembali" lagi) sangat mempengaruhi selera musik saya.
Ada sebuah kelompok musik dari Irlandia yg akhir-akhir ini menarik perhatian, yaitu "Dervish". Lagu-lagu Dervish yang banyak diinspirasikan oleh musik tradisi rakyat di daerah Irlandia itu sangat enak diputar pada tengah malam, saat anak-anak sudah tidur ; pada momen itulah saya menikmati "solitude" yang melayang-layang seperti salju pertama di musim dingin.
Dalam soal musik, saya adalah seorang "pluralis" sejati. Saya membuka diri terhadap berbagai jenis musik. Dengan caranya sendiri, semua jenis musik yang dikerjakan dengan baik adalah indah. Saya bisa menyukai semua jenis musik mulai dari "Kopi Dangdut"-nya Fahmi Shahab, lagu-lagu Rhoma Irama, irama Melayu Siti Nurhaliza dan Iyeth Bustami, gambus klasik Nur Asiah Jamil (ini adalah penyanyi gambus lokal yg menurut saya terbaik sampai sekarang; lagunya "Panggilan Kaabah" selalu diputar saat musim haji tiba oleh radio-radio Islam di Jakarta), keroncong (terutama keroncong Jawa yg dinyanyikan Waljinah), sampai ke genre-genre di dunia lain seperti jazz, country (saya penyuka lagu-lagunya Shania Twain [aduh, cantiknya wanita ini!]), rock, R&B (lagu-lagunya Boys II Men sangat saya suka).
Tentu tak boleh saya lupakan, lagu-lagu dari tanah Arab. Di luar Umm Kulthum yg akan saya bicarakan nanti di akhir catatan ini, saya adalah penyuka lagu-lagunya Talal Maddah, penyanyi dengan suara khas dari Saudi Arabia. Hampir semua albumnya saya koleksi, terutama album "Zaman al-Shumt" (Waktu untuk Diam). Selain penyanyi yang hebat, Talal Maddah juga pemain gambus (atau ud) yang lihai.
Saya menyukai Fairuz, penyanyi Kristen asal Lebanon itu. Lagu-lagu gereja yang ia nyanyikan (sering disebut dengan "taranim" atau "taratil") sedap sekali dinikmati sebagai medium untuk meditasi. Tetapi penyanyi Lebanon lain yang menurut saya lebih enak di telinga saya adalah Omeima El Khalil. Omeima memiliki album yg sangat saya suka berjudul 'Ya...Whirling Like Dervish". Satu lagu dalam album itu dinyanyikan murni dengan suara tanpa iringa musik, persis seperti desahan seseorang yang sedang melakukan"munajat" atau "solilokui" di hadapan Tuhan.
Akhir-akhir ini, berkat sambungan internet broadband yg sangat bagus sekali di Amerika, saya terdedahkan ke jenis musik yg berkembang di kawasan Afrika Utara, terutama Maroko. Ada sebuah genre yg tentu tidak asing lagi bagi mereka yang tumbuh di lingkungan pesantren, yaitu taranim, atau lagu-lagu pujian keagamaan yang biasa kita dengar dulu di surau-surau di kampung. Genre ini sangat dekat dengan tradisi mistik Islam, tradisi yg sangat saya akbrabi sejak dulu.
Sekurang-kurangnya ada dua penyanyi (biasa disebut dengan "munshid") yg menarik perhatian saya, yaitu Rachid Ghulam dari Maroko dan Mesut Kurtis.
Rachid Ghulam, menurut saya, sangat "outstanding". Albumnya yg hampir setiap hari saya putar adalah "Mawajeed 2". Suara dan cara menyanyi Rachid mengingatkan saya kembali pada Umm Kulthum, penyanyi legendaris asal Mesir yang sering disebut sebagai "kejora dari Timur" ("kaukab al-sharq") itu. Rachid pernah menyanyikan kembali beberapa lagu Umm Kulthum, terutama yg menarik perhatian saya adalah saat dia menyanyikan kembali lagu "Rubaiyyat Umar Khayyam". Tetapi, terus terang saja, Umm Kulthum tidak bisa dilampaui oleh siapapun, termasuk oleh suara Rachid Ghulam. Kata teman saya dari Mesir kelahiran California, "Umm Kulthum is infallible, ya Ustaz!".
Mesut Kurtis adalah penyanyi asal Turki yg sekarang tinggal di Inggris. Dia me-release album yg langsung populer berjudul "Salawat". Dalam album itu, dia menyanyikan salah satu petikan dari kasidah Burdah yang sangat indah. Baik Rachid Gulam atau Mesut Kurtis menyanyikan lagu-lagu yang sangat akrab bagi orang yang tumbuh dalam tradisi pesantren. Saat mendengar mereka, saya seperti "pulang ke rumah".
Ada beberapa jenis musik yg saat kita dengar, kita merasa seperti pulang kembali ke tempat asal. Setiap orang, karena dibentuk oleh pengalaman yg berbeda-beda, tentu memiliki jenis-jenis musiknya sendiri-sendiri yg bisa membuat orang bersangkutan bisa merasa pulang ke tempat asal itu. Buat saya, lagu-lagu Mesut Kurtis dan Rachid Gholam masuk dalam kategori itu.
Meskipun saya menyukai komposisi-komposisi musik klasik yang tumbuh dalam tradisi Eropa, terutama Johan Sebastian Bach, saya tetap tidak bisa "masuk" dalam horison musik itu. Di hadapan komposisi klasik itu, saya tetaplah "pendatang asing", meskipun saya mencoba menikmatinya. Qawwali-nya Nusrat Fatih Ali Khan, misalnya, tetap lebih meresap di kulit saya ketimbang komposisi musik klasik.
Tetapi, di mata saya, semua jenis musik di muka bumi ini tidak ada yang mengalahkan Ummi Kulthum (tentu ini buat saya; buat orang lain boleh jadi "Slank" dianggap paling indah di seluruh bumi). Musik Umm Kulthum, menurut saya, adalah sebuah paradigma yg berdiri sendiri dan sangat berlawanan secara diametral dengan paradigma musik-musik modern saat ini. Saya akan mencoba menganalisis sejenak keunikan genre musik yg ingin saya sebut "Kulthumiyyat" ini.
Keunikan yg tampak adalah beberapa hal berikut ini. Lagu-lagu Umm Kulthum dinyanyikan dengan cara seperti tembang dalam masyarakat tradisional. Tidak seperti dalam lagu dalam musik modern yabg biasanya berdurasi antara 3 sampai (paling jauh) 5 menit, dalam paradigma Kulthumiyyat, satu lagu bisa dinyanyikan secara kontinyu, tanpa jeda, selama hampir satu jam. Ini mengingatkan saya pada tradisi wayang di Jawa. Telinga modern tampaknya tidak akrab dengan tipe musik seperti ini. Telinga modern lebih suka dengan lagu yg dinyanyikan dalam durasi pendek kemudian berganti ke lagu berikutnya.
Keunikan lain, hampir semua lagu Umm Kulthum tidak direkam dalam studio. Semua rekaman lagunya yg beredar hingga sekarang berasal dari konser yang dipentaskan di depan ribuan pengunjung di beberapa tempat di seluruh kawasan Arab. Itulah yang menjelaskan kenapa dalam rekaman lagu-lagu Umm Kulthum kita mendengar tepuk tangan dan sorak-sorai dari penonton. Mendengar lagu-lagu Umm Kulthum seperti mendengar sebuah pentas seni dalam masyarakat tradisional di mana batas antara panggung dan penoton sangat tipis. Sorak-sorai penonton menjadi elemen musikal yang penting di sana.
Dalam setiap konser, sudah tentu hubungan antara penyanyi di panggung dan penonton saling mengandaikan dan bersifat resiprokal. Tetapi dalam kasus konser Umm Kulthum elemen resiprokalitas ini sangat menonjol. Saat penonton mengalami "ekstasi" karena bagian tertentu dalam lagunya, Umm Kulthum biasanya akan mengulang-ulang terus bagian itu dengan sejumlah improvisasi. Seperti daalm jazz, unsur improvisasi sangat penting dalam paradigma Kulthumiyyat.
Jika dalam musik-musik lain, instrumen pengiring dan lagu saling membutuhkan, dalam musik Umm Kulthum unsur musik pengiring harus tunduk sepenuhnya pada unsur vokal, yaitu suara Umm Kulthum. Oleh karena itu, saat kita mendengar album-abum Umm Kulthum, musik pengiring tampak benar-benar sebagai latar saja. Saat Umm Kulthum menyanyi, musik pengiring dimainkan dengan pelan seperti hendak memberkan keleluasaan penuh kepada suara Umm Kulthum. Saat Umm Kulthum usai, baru unsur musik pengiring tampil lagi seperti hendak "menyoraki" dan memberi semangat pada Umm Kulthum.
Dalam hampir semua konser Umm Kulthum yang saya lihat melalui video-video rekamannya, hanya ada satu unsur yang paling menonjol, yaitu suara Umm Kulthum itu sendiri. Tak ada panggung yang ditata dengan set yang rumit. Tak ada tata lampu yang canggih. Tak ada joget. Umm Kulthum selalu menyanyi di panggung dengan properti yg sebetulnya monoton. Dia selalu memakai abaya (baju panjang seperti jubah), kepalanya terbuka (tak memakai kerudung) dengab tata rambut yang sangat sederhana, dan sapu tangan ("mindil') yg selalu dipegang saat menyanyi. Tak ada joget sama sekali. Tetapi penoton bisa terpaku selama satu jam penuh dan bersorak sorai kegilaan karena mendengar suaranya yang saya kira sulit ditemukan kembali dalam sejarah musik Arab hingga sekarang.
Menurut saya, musik Umm Kulthum adalah "musik murni" dalam pengertian yang sebenar-benarnya.
Mertua saya, Kiai Mustofa Bisri (sering dipanggil Gus Mus) adalah penyuka berat lagu-lagu Umm Kulthum. Seluruh kaset dan CD di mobil pribadinya berisi lagu-lagu Umm Kulthum. Ayahanda Gus Mus, yaitu alm. Kiai Bisri Mustofa juga penggemar berat Umm Kulthum. Kiai Bisri, dikenal di kalangan masyarakat NU di pesisir Jawa Tengah sebagai Mbah Bisri, adalah seorang penceramah agama ulung yg berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Dia selalu menyela ceramahnya dengan mendendangkan beberapa lagu Umm Kulthum. Saat masih kecil di kampung dulu, saya selalu menyukai ceramah Mbah Bisri. Bagian yg saya suka adalah saat dia menyanyikan lagunya Umm Kulthum itu.
Berkat teknologi komputer yg sangat maju saat ini, semua lagu Umm Kulthum sudah dikonversi dalam bentuk file-file yg bisa diputar di media komputer, seperti rm atau mp3. File ini sudah tersedia lengkap di berbagai situs-situs Arab dan bisa di-download dengan gratis. Para penggemar berat Umm Kulthum seperti saya benar-benar seperti menikmati sorga saat ini. Sorga semacam ini tak perlu diperoleh dg "bom bunuh diri", tetapi cukup dengan komputer sederhana dan sambungan internet.
Orang-orang Yahudi di Israel boleh saja berseteru saat ini dengan bangsa Arab. Tetapi dalam urusan musik, Umm Kulthum melintasi batas perseteruan itu. Sebagamana di dunia Arab, Umm Kulthum juga dicintai di Israel. Sejumlah teman Yahudi saya yang mengambil kajian Arab dan Islam menyukai musik-musik Umm Kulthum dengan intensitas yang tak kalah mendalam dengan pendengar di kawasan Arab lain.
Saya kira, musik menjulurkan jembatan penghubung yang menyeberangi batas-batas budaya. Oleh karena itu, kadang saya heran melihat beberapa kalangan dalam Islam hingga sekarang masih sibuk berdiskusi: apakah musik itu haram atau halal.
Ulil Abshar Abdalla